WAWASAN
NUSANTARA
A.
Pengertian Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
B. Perbatasan
Negara Indonesia dengan Negara Lain
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai
sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik
perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik
Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea
(PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat
Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik
perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya
baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya.
Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia,
Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa
pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif
karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.
a. Perbatasan
Laut
1.
Indonesia-Malaysia
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia
adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977.
Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah
menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai
implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya
kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah
perairan yang ada di Selat Malaka.
Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut
wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut
ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous
Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah
masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari
24 mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia
ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik
koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969.
Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan
(Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis
Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat
tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara.
Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional
1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu
diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini
penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat
Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober
1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam
penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median
line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut
cenderung mengarah ke perairan Indonesia.
Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan
pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya
pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara.
Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan
Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah
pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya
di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak
benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian
bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut
Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line
antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau
timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal
state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak
sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil
laut.
Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan
rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di
bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.
2.
Indonesia-Singapura
Penentuan
titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura
didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau
yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada
kesepakatan kedua pemerintah.
Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Isi
pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah
Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil
laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik dari titik
koordinat.
Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah
Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian
perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni
Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar
terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut.
Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan
terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum
mempunyai perjanjian batas laut.
Permasalahan
muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di
wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah
perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah
menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas
wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera
diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura
akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan
Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi.
Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua
negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai
berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan
Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak
tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali. Dengan
demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik
tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun
demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih
terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.
3.
Indonesia-Thailand
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan Thailand adalah
garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara. Hal itu
disepakati dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand tentang
penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973.
Titik koordinat batas Landas Kontinen
Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum
berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sudah selayaknya perjanjian
penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali.
Apalagi Thailand telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif
dengan Royal Proclamation pada 23 Februari 1981, yang isinya; “The
exclusive Economy Zone of Kingdom of Thailand is an area beyond and adjacent to
the territorial sea whose breadth extends to two hundred nautical miles
measured from the baselines use for measuring the breadth of the Territorial
Sea”. Pada prinsipnya Proklamasi ZEE tersebut tidak menyebutkan tentang
penetapan batas antar negara.
4.
Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis
lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di
Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New
Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada
beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.
5.
Indonesia-Australia
Perjanjian Indonesia dengan Australia mengenai garis batas
yang terletak antara perbatasan Indonesia- Papua New Guinea ditanda tangani di
Jakarta, pada 12 Februari 1973. Kemudian disahkan dalam UU No 6 tahun 1973,
tepatnya pada 8 Desember 1973).
Adapun persetujuan antara Indonesia dengan Australia tentang
penetapan batas-batas Dasar Laut, ditanda tangani paada 7 Nopember 1974.
Pertama, isinya menetapkan lima daerah operasional nelayan tradisional
Indonesia di zona perikanan Australia, yaitu Ashmore reef (Pulau
Pasir); Cartier Reef (Pulau Ban); Scott Reef (Pulau Datu); Saringapatan
Reef, dan Browse.
Kedua, nelayan tradisional Indonesia di perkenankan mengambil
air tawar di East Islet dan Middle Islet, bagian dari Pulau
Pasir (Ashmore Reef). Ketiga, nelayan Indonesia dilarang melakukan
penangkapan ikan dan merusak lingkungan di luar kelima pulau tersebut.
Sementara persetujuan Indonesia dengan Australia, tentang
pengaturan Administrative perbatasan antara Indonesia-Papua New Gunea; ditanda
tangani di Port Moresby, pada 13 November 1973. Hal tersebut telah disahkan
melalui Keppres No. 27 tahun 1974, dan mulai diberlakukan pada 29 April 1974.
Atas perkembangan baru di atas, kedua negara sepakat untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan MOU 1974.
6.
Indonesia-Vietnam
Pada 12 November 1982, Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan
sebuah Statement yang disebut “Statement on the Territorial Sea Base Line”.
Vietnam memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal. Mereka ingin
memasukkan pulau Phu Quoc masuk ke dalam wilayahnya yang berada kira-kira 80
mil laut dari garis batas darat antara Kamboja dan Vietnam.
Sistem penarikan garis pangkal tersebut dilakukan menggunakan
9 turning point. Di mana dua garis itu panjangnya melebihi 80 mil
pantai, sedangkan tiga garis lain panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga,
perairan yang dikelilinginya mencapai total luas 27.000 mil2.
Sebelumnya, pada 1977 Vietnam menyatakan memiliki ZEE seluas
200 mil laut, diukur dari garis pangkal lurus yang digunakan untuk mengukur lebar
Laut Wilayah. Hal ini tidak sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, karena
Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik
pangkal. Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna.
7.
Indonesia-Filipina
Berdasarkan dokumen perjanjian batas-batas maritim Indonesia
dan Filipina sudah beberapa kali melakukan perundingan, khususnya mengenai
garis batas maritim di laut Sulawesi dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973).
Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan karena salah satu pulau milik
Indonesia (Pulau Miangas) yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal
itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada
treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the
archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang
hukum laut (UNCLOS 1982).
8.
Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara
geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50”
BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan ± 500 km2.
Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau memiliki
yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga
200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi
kepulauan.
Palau memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended
Fishery Zone) hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang
lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang
tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik
Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi
kesepakatan mengenai garis batas ZEE.
9.
Indonesia-Timor Leste
Berdirinya
negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan
baru antara Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat
dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai
sekarang.
First
Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada
18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat
berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan
batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua
diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
b. Perbatasan Darat
1. Indonesia-Malaysia
Pelanggaran perbatasan nagara Indonesia dengan negara
tetangganya sering banyak dilanggar oleh Malaysia. Ini terbukti dengan adanya
pelanggaran perbatasan wilayah negara yang masih terus dilakukan oleh negara
tetangga. Malaysia lah yang paling sering melakukan pelanggaran batas wilayah
RI. Pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan titik-titik batas
wilayah di Kalimantan Barat.
Pemindahan patok batas terjadi di Sektro Tengah, Utara
Gunung Mumbau, Taman Nasional Betung Kerihun, Kecamatan Putu Sibau, serta
Kabupaten Kapuas Hulu. Selain itu, pelanggaran wilayah perbatasan darat juga
dilakukan oleh para pelintas batas yang tidak memiliki dokumen yang sah.
Permasalahan lain antar kedua negara ini adalah masalah pelintas batas,
penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Penetapan garis batas darat kedua
negara di Selat Malaka dan laut Cina Selatan ditandatangai tanggal 27 oktober
1969 yang diratifikasi melalui Keppres No.89 tahun 1969 tanggal 5 November
1969/ LN No.54 dengan nama perjanjian Agreement between the Government of the
Republic of Indonesia and the Government of Malaysia Relating to the
Delimitation of the Continental Shelves between the Two Countries. (Persetujuan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia Tentang Penetapan
Garis Batas Landas Kontinen antara Kedua Negara).
2. Indonesia-Papua Nugini
Indonesia dan Papua Nugini telah menyepakati batas-batas
wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang
dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan
kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan
klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di
kemudian hari.
3. Indonesia-Timor Leste
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada
diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia,
serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat
Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan
antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan
klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang
lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste
yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial
menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.
Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara merdeka,
menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara
tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste
telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang.
3. Arti Kepulauan Bangi Bangsa Indonesia
Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar
didunia, antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi
bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling
berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran
dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam
tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang
menjelajahi untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan,
yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang
Indonesia (Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari
berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe
jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar
“Fantastis”. Pada zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia
merupakan negara maritim. Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai
banyak pulau, luasnya laut menjadi modal utama untuk membangun bangsa ini.
Indonesia adalah “Negara kepulauan”, Indonesia adalah
“Nusantara”, Indonesia adalah “Negara Maritim” dan Indonesia adalah “Bangsa
Bahari”,”Berjiwa Bahari” serta “Nenek Moyangku Orang Pelaut” bukan hanya
merupakan slogan belaka,
Laut dijadikan ladang mata pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat menggalang kekuatan, mempunyai armada laut yang kuat berarti bisa mempertahankan kerajaan dari serangan luar. Memang, laut dalam hal ini menjadi suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dengan mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa Indonesia maju karena Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya.
Laut dijadikan ladang mata pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat menggalang kekuatan, mempunyai armada laut yang kuat berarti bisa mempertahankan kerajaan dari serangan luar. Memang, laut dalam hal ini menjadi suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dengan mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa Indonesia maju karena Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya.
Melihat bagaimana kejayaan masa lampau diperoleh karena mengoptimalkan potensi
laut sebagai sarana dalam suksesnya perekonomian dan ketahanan politik suatu
negara, maka menjadi suatu hal yang wajar bila sekarang ini Indonesia harus
lebih mengembangkan laut demi tercapianya tujuan nasional. Indonesia menyandang
predikat “Negara Maritim” atau negara kepulauan,
Konsekwensi sifat maritim itu sendiri lebih mengarah pada terwujudnya aktifitas
pelayaran di wilayah Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa Indonesia sebagai
negara kepulauan dalam membangun perekonomian akan senantiasa dilandasi oleh
aktivitas pelayaran. Pentingnya pelayaran bagi Indonesia tentunya disebabkan
oleh keadaan geografisnya, posisi Indonesia yang strategis berada dalam jalur
persilangan dunia, membuat Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk
mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi
pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdagangan pada
khususnya.
4. Kondisi yang Membahayakan Keutuhan
Pulau-pulau Terluar di Wilayah Indonesia
Pulau-pulau terluar
biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari
perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah
strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan.
Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar
tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia,
khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/
belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Ada beberapa kondisi
yang membahayakan keutuhan wilayah jika terjadi pada pulau-pulau terluar,
diantaranya:
1. Hilangnya pulau secara fisik akibat abrasi, tenggelam, atau karena kesengajaan
1. Hilangnya pulau secara fisik akibat abrasi, tenggelam, atau karena kesengajaan
manusia.
2. Hilangnya pulau secara kepemilikan, akibat perubahan status kepemilikan akibat
2. Hilangnya pulau secara kepemilikan, akibat perubahan status kepemilikan akibat
pemaksaan militer atau sebagai sebuah ketaatan pada keputusan hukum
seperti yang
terjadi pada kasus berpindahnya status kepemilikan Sipadan dan Ligitan
dari
Indonesia ke Malaysia
3. Hilang secara sosial dan ekonomi, akibat praktek ekonomi dan sosial dari
3. Hilang secara sosial dan ekonomi, akibat praktek ekonomi dan sosial dari
masyarakat di pulau tersebut. Misalnya
pulau yang secara turun temurun didiami
oleh masyarakat dari negara lain.
5. Asal-usul Provinsi ke 34 dari Negara
Indonesia
Kalimantan Utara adalah bagian utara
dari pulau Kalimantan (Borneo) yang meliputi Sabah, Sarawak, Brunei dan
Kalimantan Timur bagian Utara (= Karasikan). Dalam sejarahnya negeri-negeri di
bagian utara pulau Kalimantan ini adalah wilayah pengaruh Kesultanan Brunei dan
Kesultanan Sulu. Raja pertama dari Kesultanan Bulungan yang berada di
Kalimantan Timur bagian utara berasal dari Brunei. Namun pada masa Hindu
wilayah utara Kalimantan Timur hingga sebagian Sabah merupakan bekas wilayah
Berau.
Salah satu daerah otonom baru (DOB)
yang disahkan adalah Provinsi Kalimantan Utara yang menjadi provinsi ke 34 di
Indonesia. Provinsi baru ini diharapkan dapat mencegah pencaplokan pulau-pulau
Indonesia oleh Malaysia. Pengesahan Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi
baru di Indonesia ini disepakati setelah sebelumnya Komisi II DPR bersama
pemerintah (Kemendagri), menggodok Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah
Otonom Baru dalam pembicaraan tingkat I di DPR. Ketua Komisi II DPR, Agun
Gunanjar berharap dengan disahkannnya Provinsi Kalimantan Utara, tidak ada lagi
pencaplokan pulau oleh negara tetangga, Malaysia.